KELAS : 3PA08
KELOMPOK 5
- ADE MAHESA (18511628) : http://ademahesa12.blogspot.com/
- DINI KUSUMANINGRUM (12511159) : http://dinikdini.blogspot.com/
- FELIK ASLAM POHAN (12511802) : http://celotehnyafelik.blogspot.com/
- KURNIA AMANDA (14511038) : http://kurniaamanda.blogspot.com/
A. Pengantar
Analisis
transaksional (AT) adalah psikoterapi transaksional yang dapat digunakan dalam
terapi individual, tetapi ini lebih
cocok digunakan untuk terapi kelompok. AT berbeda dengan sebagian besar terapi
lain karena merupakan suatu terapi kontraktual dan desisional. AT melibatkan
suatu kontrak yang dibuat oleh klien, yang dengan jelas menyatakan
tujuan-tujuan dan arah proses terapi. AT juga berfokus pada putusan-putusan
awal yang dibuat oleh klien dan menekankan kemampuan klien untuk membuat
putusan-putusan baru. AT menekankan aspek-aspek kognitif rasional-Behavior dan
berorientasi pada peningkatan kesadaran sehingga klien akan mampu membuat
putusan-putusan baru dan mengubah cara hidupnya.
Pendekatan
ini dikembangkan oleh Eric Berne, berlandaskan suatu teori kepribadian
yang berkenaan dengan analisis struktural dan transaksional. Teori ini
menyajikan suatu kerangka bagi analisis terhadap tiga kedudukan ego yang
terpisah, yaitu : orang tua, orang dewasa, dan anak. Teori Berne menggunakan
beberapa kata utama dan menyajikan suatu kerangka yang bisa dimengerti yang
dipelajari dengan mudah. Kata-kata utamanya adalah orang tua, orang dewasa,
anak, putusan, putusan ulang, permainan, skenario, pemerasan, dicampuri,
pengabaian, dan ciri khas. Karena sifat operasional AT dengan kontraknya, taraf
perubahan klien bisa dibentuk.
B. Perwakilan-perwakilan Ego
AT adalah suatu sistem terapi yang berlandaskan teori kepribadian yang
menggunakan tiga pola tingkah laku atau perwakilan ego yang terpisah, yaitu ego
orang tua, ego orang dewasa, dan ego anak.
Kondisi ego orang tua (O) atau aslinya disebut oleh Berne dengan exteropsyche adalah prototype yang dtampilkan seseorang seperti
layaknya bokap nyokap. Yakni penampilan yang terikat kepada sistem nilai, moral
dan serangkaian kepercayaan. Bentuk nyatanya berupa pengontrolan, membimbing,
membantu mengarahkan, menasehati, menuntun atau dapat pula mengecam,
mengkritik, mengomand, melarang, mencegah atau memerintah.
Kondisi ego orang dewasa (D) atau neopsyche adalah reaksi yang bersifat
realistis dan logis. Status ego ini sering disebut komplek. Karena bertindak
dan mengambil keputusan berdasarkan hasil pemrosesan informasi dari data dan
fakta lapangan.
Kondisi ego anak (A) atau archaeopsyche merupakan keadaan dan reaksi emosi
yang kadang-kadang adaptif, intuitif, kreatif, dan emosional, tetapi
kadang-kadang juga bertindak lepas, ingin terbebas dari pengaruh rang lain.
C. Tujuan Analisis Transaksional
Tujuan
dasar Analisis Transaksional adalah membantu klien dalam membuat
putusan-putusan baru yang menyangkut tingkah lakunya sekarang dan arah
hidupnya. Sasarannya adalah mendorong klien agar menyadari bahwa kebebasan
dirinya dalam memilih telah dibatasi oleh putusan-piutusan diri mengenai posisi
hidupnya dan oleh pilihan terhadap cara-cara hidup yang mandul dan
deterministik. Inti terapi adalah menggantikan gaya hidup yang ditandai oleh
permainan yang manipulatif dan oleh skenario-skenario hidup yang mengalahkan
diri, dengan gaya hidup otonom yang ditandai dengan kesadaran, spontanitas, dan
keakraban.
Harris
(dalam Corey, 2013) melihat tujuan AT untuk membantu individu agar “memiliki
kebebasan memilih, kebebasan mengubah keinginan, kebebasan mengubah
respon-respon terhadapt stimulus-stimulus yang lazim maupun yang baru”.
Pemulihan “kebebasan untuk mengubah” itu berlandasakan pengetahuan tentang ego orang tua
dan ego anak serta tentang bagaimana kedua ego itu memasuki transaksi-transaksi
terepeutik. Pada dasarnya menyertakan pembebasan ego orang dewasa dari pencemaran dan
pengaruh-pengaruh merusak yang dihasilkan oleh ego orang tua dan ego anak.
Sebagaimana di nyatakan oleh Harris (dalam Corey, 2013), tujuan pemberian
treatment adalah menyembuhkan gejala yang timbul dan metode tritmen adalah
membebaskan ego orang dewasa sehingga bisa mengalami kebebasan memilih dan
penciptaan pilihan-pilihan baru di atas dan seberang pengaruh-pengaruh masa
lampau yang membatasi. Menurut Harris, tujuan terapeutik itu dicapai dengan
mengajarkan kepada klien dasar-dasar ego orang tua, orang dewasa, dan ego anak.
Para klien dalam setting kelompok itu belajar bagaimana menyadari, mengenali,
dan menjabarkan ketiga ego selama ego-ego tersebut muncul dalam
transaksi-transaksi dalam kelompok.
Berne
(dalam Corey, 2013) menyatakan bahwa tujuan utama AT adalah pencapaian otonomi
yang diwujudkan oleh penemuan kembali tiga karakteristik, yaitu kesadaran,
spontanitas, dan keakraban.
D. Skenario-skenario
Kehidupan dan Posisi-posisi Psikologis Dasar
Skenario-skenario
kehidupan adalah ajaran-ajaran orang tua yang kita pelajari dan putusan-putusan
awal yang dibuat oleh kita sebagai anak, yang selanjutnya dibawa oleh kita
sebagai orang dewasa. Kita menerima pesan-pesan dan dengan demikian kita
belajar dan menetapkan tentang bagaimana kita pada usia dini. Pesan-pesan
verbal dan non verbal orang tua mengomunikasikan bagaimana mereka melihat kita
dan bagaimana kita merasakan diri kita. Kita membuat putusan-putusan dini yang
memberikan andil pada pembentukan perasaan sebagai pemenang (perasaan OK) atau
perasaan sebagai orang yang kalah (perasaan tidak OK).
Berkaitan
dengan konsep-konsep skenario kehidupan, pesan-pesan dan perintah-perintah
orang tua, serta putusan-putusan dini itu adalah konsep dalam AT tentang empat
posisi dasar dalam hidup, yaitu:
(1) “saya
OK - kamu OK”
Posisi
yang sehat adalah posisi dengan perasaan sebagai pemenang atau posisi saya OK –
kamu OK. Dalam posisi ini, dua
orang merasa seperti pemenang dan bisa menjalin hubungan langsung yang terbuka.
(2) “saya
OK - kamu tidak OK”
Saya
OK – kamu tidak OK adalah posisi orang-orang yang memproyeksikan
masalah-masalahnya kepada orang lain dan mempersalahkan orang lain. Ia adalah
posisi yang arogan yang menjauhkan seseorang dari orang lain dan mempertahankan
seseorang dalam penyingkiran diri.
(3) “saya
tidak OK - kamu OK”
Saya
tidak OK - kamu OK adalah posisi orang yang mengalami depresi, yang merasa tak
kuasa dibanding dengan orang lain dan yang cenderung menarik diri atau lebih
suka memenuhi keinginan orang lain ketimbang keinginan sendiri.
(4) “saya
tidak OK - kamu tidak OK”
Saya
tidak OK – kamu tidak OK adalah posisi orang-orang yang menyingkirkan semua
harapan yang kehilangan minat hidup dan melihat hidup sebagai tidak
mengandung harapan.
Masing-masing posisi itu berlandaskan putusan-putusan yang dibuat orang
sebagai hasil dari pengalaman dini dimasa kanak-kanak. Jika seseorang telah
membuat suatu putusan, maka dia pada umumnya akan bertahan pada putusannya itu
kecuali jika ada campur tangan (terapi atau kejadian tertentu) yang
mengubahnya.
E. Prosedur-Prosedur Terapeutik
Dalam
praktek AT, teknik-teknik dari berbagai sumber, terutama pada terapi Gestalt,
memiliki prosedu-prosedur yang mengasikan yang dikawinkan antara analisis
transaksional dan terapi gestalt. James dan jongeward dalam (Corey, 2013)
menggabungkan konsep-konsep dan proses-proses AT dengan eksperimen-eksperimen
gestalt. Dengan pendekatan hubungan itu, ia mendemonstrasikan peluang yang
lebih besar untuk mencapai kesadarn diri dan otonomi.
Sisa
bagian ini disediakan bagi uraian ringkas tentang proses-proses,
prosedur-prosedur, dan teknik-teknik yang umum digunakan dalam prakteknanalisis
transaksional. Sebagian besar metode dan proses terapeutik AT ini bisa
diterapkan pada terapi individual maupun pada terapi kelompok. Meskipun bisa
dijalankan secara efektif diatas landasa pribadi ke pribadi, kelompok adalah
wahana yang terpenting bagi perubahan pendidikan dari terapeutik dari terapi
AT.
1. Analisis
Struktural
Analisis
struktural adalah alat yang dapat membantu klienb agar menjadi sadar atas isi
dan fungsi ego orang tua, ego orang dewasa, dan ego anaknya. Para klien AT
belajar bagaimana mengenalimketiga perwakilan egonya itu. Analisis struktural
membantu klien dalam merubah pola-pola dirasakan menghambat. Ia juga membantu
klien dalam menemukan perwakilan ego yang mana menjadi landasan tingkah
lakunya. Dengan penemuannya itu klien bisa memperhitungkan pilihan-pilihannya.
2. Analisis Transaksional
Analisis
transaksional pada dasarnya adalah suatu penjabaran atas analisi yang dilakukan
dan dikatakan oleh orang0orang terhadap satu sama lain. Apapun yang terjadi,
orang-orang melibatkan suatu transaksi diatara perwakilan-perwakilan ego
mereka. ketika pesan-pesan disampaikan, diharapkan ada respon. Ada tiga tipe
transakis yaitu, komplementer, menyilang, dan terselubung. Transaksi
komplementer terjadi apabila suatu pesan disampaikan oleh suatu perwakilan
seseorang memperoleh respon yang diprakirakan dari perwakilan ego seseorang
lainnya. Sebagai contoh adalah transaksi anak-anak nyang suka bermain.
Transaksi menyilang terjadi apabila respon yang tidak diharapkan diberikan
kepada suatu pesan yang disampaikan oleh seseorang yang harus berperilaku tidak
sesuai dengan umurnya. Transaksi terselubng yang merupakan suatu transaksi yang
kompleks, terjadi apabila lebih dari satu perwakilan ego terlbiat serta
seseorang menyampaikan kesan terselubung kepada seseorang yang lainnya.
3. Kursi Kosong
Kursi
kosong adalah suatu prosedur yang sesuai analisis struktural. Bagaimana kursi
kosong itu dijalankan? Umpamanya seorang klien mengalami kesulitan dalam
menghadapi boss-nya (ego orang tua). Klien diminta untuk membayangkan bahwa
seseorang tengah duduk di sebuah kursi dihadapannya dan mengajaknya berdialog.
Prosedur ini memberikan kesempatan kepada klien untuk menyatakan
pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, dan sikap-sikapnya selama dia menjalankan
peran-peran perwakilan-perwakilan egonya. Klien tidak hanya mempertajam
kesadarannya, dalam kasus ini ego orang tuanya, tetapi juga kedua ego lainnya
(anak dan orang dewasa) yang biasanya memiliki ciri-ciri tertentu dalam
hubungannya dengan keadaan yang dibayangkan. Teknik kursi kosong bisa digunakan
oleh orang-orang yang mengalami konflik-konflik internal yang hebat guna
memperoleh fokus yang lebih tajam dan pegangan yang kongkret bagi upaya
pemecahan.
4. Permainan Peran
Prosedur-prosedur AT juga bisa digabungkan dengan teknik-teknik
psikodrama dan permainan peran. Dalam terapi kelompok, situasi-situasi
permainan peran bisa melibatkan para anggota lain. Seorang anggota kelompok
memainkan peran sebagai perwakilan ego yang menjadi sumber masalah bagi seorang
anggota lainnya, dan ia berbicara kepada anggota tersebut. Para anggota yang
lain pun bisa menjalankan permainan peran serupa dan boleh mencobanya diluar
pertemuan terapi. Bentuk permainan lainnya adalah permainan yang menonjolkan
gaya-gaya khas dari ego orang tua yang konstan, ego orang dewasa yang konstan,
dan ego anak yang konstan, atau permainan-permainan tertentu agar memungkinkan
klien memperoleh umpan balik tentang tingkah laku sekarang dalam kelompok.
5. Analisis Sekenario
Analisis
sekenario adalah bagian dari proses terapeutik yang memungkinkan pola hidup yang diikuti oleh hidup individu
bisa dikenali. Analisis sekenario bisa menunjukan kepda individu prose yang
dijalaninnya dalam memperoleh sekenario dan cara-caranya membenarkan
tindakan-tindakan yang tertera pada sekenario. Ketika menjadi sadar atas
sekenario kehidupannya, orang siap untuk melakukan sesuatu untuk menuba
pemperograman. Orang tindak menelantarkan dirinya sebagai korban dari
pembentukan sekenario karena melalui kekerasan, dia menghadapi kemungkina untuk
memutuskan ulang. Analisis sekenario membuka alternatif-alternatif baru yang
menjadikan orang bisa memilih sehingga dia tidak lagi merasa dipaksa memainkan
permainan-permainan mengumpulkan perasan-perasan untuk membenarkan tindakan
tertentu yang dilaksanakan menurut plot sekenario.
F. Contoh Kasus Analisis Transaksional
KASUS 1
Hasta adalah anak yang patuh dan penurut kepada orangtuanya. Baginya,
orangtua adalah orang yang selalu dihormati dan ditaati. Sejak kecil, Hasta
memang selalu diarahkan orangtuanya. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Harus
yang ini, harus yang itu, dsb. Dia jarang sekali dibiarkan membuat pilihannya
sendiri. Hal itu juga terjadi dalam pemilihan arah pendidikan. Dari TK hingga
SMA, semua ditentukan oleh orangtua. Tidak ada yang dipilih sendiri oleh Hasta.
Dia selalu menurut saja. Orangtuanya ingin Hasta menjadi seorang dokter. Hasta
merasa tidak ingin jadi dokter tapi dia tidak mau dan tidak bisa melawan
keinginan orangtua. Dia merasa tidak memiliki kekuatan atas jalan hidupnya
sendiri. Hasta menurut saja jika
dipersiapkan untuk menjadi seorang dokter dengan les tambahan di bimbingan
belajar, baik klasikal maupun privat. Kemudian Hasta berhasil diterima di
Jurusan Kedokteran Umum. Orangtuanya senang sekali, merasa telah sukses
mengarahkan anaknya. Tapi Hasta tidak nyaman dengan hal tersebut. Sebenarnya
dia ingin belajar sastra.Hasta pernah sekali mengungkapkan keinginannya itu.
Tapi orangtua tidak mau tahu dan selalu melarang Hasta belajar sastra. Menurut
Hasta, orangtuanya berpikir bahwa pilihan terbaik adalah apa yang diputuskan
oleh orangtua, bukan Hasta yang hanya seorang anak. Hasta menjalani kuliah di kedokteran
dengan tidak semangat dan tertekan. Dia merasa bukan ini yang ingin dilakukan.
Dia ingin sekali keluar dari jurusan kedokteran. Akibatnya, pada semester
pertama, nilainya sudah jeblok. Orangtua hanya bisa marah-marah , menyuruh
Hasta serius kuliah, tidak memikirkan hal lain, apalagi sastra. Karena hal itu,
Hasta semakin merasa tertekan dan stres. Dia ingin memiliki kekuasaan atas
pilihan jalan hidupnya sendiri, tapi tak sanggup melawan ego orangtua.
KASUS 2
Ego State Therapy For Children
Mengapa saya jatuh cinta dengan Ego State Therapy ? Karena teknik ini
sangat SIMPEL dan POWERFUL dimana teknik ini dapat dilakukan tanpa induksi
samasekali. Nama tekniknya adalah Resistance Bridging. Teknik ini diciptakan
khusus bagi orang yang tidak ingin dihipnosis karena ga mau dibuat mainan
seperti yang sering dilihat di televisi. Bahkan alumni saya yang sudah berjalan
sekitar 25 angkatan mengatakan bahwa teknik ini ternyata mudah sekali, terutama
bagi mereka yang pernah belajar hypnosis, teknik ini membantu mereka memahami
lebih mudah khususnya dalam melakukan terapi. Dalam
satu pelatihan Ego State Therapy saya, ada satu kasus menarik dimana yang
menjadi contoh kasus adalah seorang anak kelas 6 SD. Anak ini merasa takut
berada di tempat gelap karena masih sukam dibayang-bayangi film horor “The
SAW”. Film ini didapat dari temannya. Lalu saya menggunakan teknik ego state
therapy dengan menggunakan kursi yang dikenal dengan nama empty chair. Anak
tersebut tertarik dengan semua film kartun. Dan salah satu favorit dia adalah
Doraemon. Lalu saya memakai doraemon ini sebagai salah satu ego statenya atau
introject. kemudian saya menanyakan kepada dia, dilambangkan siapa si rasa takutnya tersebut. Dia sebut
nobita. Dan kita bermain-main dengan menggunakan Nobita dan doraemon. Anak
tersebut saat memerankan doraemon, dia memberikan pil berani, baju terang, helm
motivasi serta komputer pemrogram otak. Dan walhasil saat sudah dilakukan play
therapy kesembuhannya langsung terlihat. Peserta juga happy karena play therapy
benar-benar fun banget.
KASUS 3
Contoh kasus penerapan analisis transaksional di sekolah
Banyak laporan, terutama dari
praktioner (penganut) AT, bahwa AT berhasil dengan memuaskan. Banyak klien yang
telah disembuhkan dengan cara ini, serta “decak kagum “ pun dialamatkan pada
temuan Berne ini. Terbentuknya perhimpunan AT, ITAA, dan terbitnya jurnal AT
membuktikan bahwa AT sebagai suatu pendekatan yang sudah besar dan berkembang
luas dikalangan ahli terapi.
Persoalan sekarang, apakah
keberhasilan AT ini dapat pula diterapkan disekolah, terutama di sekolah kita
Indonesia yang berlandaskan filsafat Pancasila? Persoalan ini tidaklah
sederhana. Keterampilan AT pada klinik Psikologi boleh jadi cocok atau boleh jadi
tidak. Penerapan yang tepat meminta uji coba yang cukup matang.
Secara rasional, keberhasilan
AT di klinik-klinik Psikoterapi mungkin sekali kita rekrut ke sekolah. Malah
kita lebih optimis lagi, karena dapat mengamati langsung perubahan klien di
luar ruangan konseling. Betapa tidak, titik sentral dari analisisnya terletak
pada transaksi. Selama klien masih berada di sekolah, selama itu pula kita
dapat menganalisis transaksinya baik dengan temannya atau gurunya.
Lebih optimis lagi, bahwa AT
dapat berhasil bila digunakan sebagai penyuluh kelompok. Karena orang yang
sehat kreteria AT adalah yang punya perasaan bebas untuk menentukan pilihannya.
Transaksi yang digunakan adalah terciptanya transaksi antar status ego Dewasa.
Kemungkinan tumbuh dan berkembang transaksi antar ego Dewasa ini lebih besar
dengan teman sebaya. Jadi kondisi ini memungkinkan konselor menerapkan AT
sebagai penyuluh kelompok di sekolah.
Kondisi sekolah yang
menunjang penerapan AT sebagai pendekatan penyuluhan kelompok ini, justru sebaliknya
bagi penyuluh individual. Harapan agar komunikasi atau transaksi antara
konselor – klien dapat terbentuk transaksi antara ego state dewasa-dewasa,
justru sulit terbina. Karena adanya jarak antara Konselor dengan Klien. Jarak
itu adalah faktor usia. Konselor lebih cenderung jauh lebih tua dari klien yang
siswa ( 12 – 15 untuk SMTP, 15 – 19 tahun untuk SMTA). Karena itu transaksi
yang mungkin sering muncul adalah antara ego state Dewasa (Konselor) –
Anak-anak (Pada siswa).
Kondisi ini ditopang oleh faktor
budaya kita. Indonesia sebagai bangsa yang berlandaskan pada Pancasila bukanlah
negara yang berfaham Liberal. Adat dan sopan santun ketimuran selalu melengket
pada masyarakat Indonesia. Cara berbicara dengan orang yang sama besar atau
lebih kecil tidak sama dengan cara berbicara dengan orang yang dihormati dan
atau lebih besar. Pada beberapa daerah, bahasa yang digunakanpun juga berbeda,
lebih halus dan lembut. Karena itu, keberhasilan AT pada masyarakat Amerika
yang egaliter belim tentu bisa sama dengan masyarakat kita.
SUMBER :
Corey, Gerald. 2013. Teori dan Praktek Konseling dan
Psikoterapi. Bandung : PT. Refika Aditama
Gunarsa, Sanggih. 2007. Konseling dan Terapi. Jakarta : PT.
BPK Gunung Mulia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar